Logika Bupati Tersandung di Polemik OB Sekda

Galeri, Opini277 views

KUNINGAN ONLINE – Polemik open bidding (OB) Sekda Kuningan terus menyita perhatian publik. Dalam salah satu video eksklusif, jawaban Bupati Kuningan justru memperlihatkan rangkaian kontradiksi logika yang patut dicermati.

Alih-alih memberi penjelasan yang berpihak pada kepentingan publik, pernyataan beliau lebih terkesan sebagai upaya pembenaran. Berikut sejumlah kontradiksi yang tampak jelas:

Iklan

Pertama, Bupati menyatakan: “Saya tidak merasa menggunakan dana open bidding itu.” Padahal OB adalah kebijakan kelembagaan, bukan urusan personal. Dana yang digunakan bersumber dari APBD—uang rakyat. Pernyataan “tidak merasa menggunakan” tidak menghapus fakta bahwa anggaran sudah dikeluarkan.

Kedua, beliau mengatakan: “Bayangkan kita juga tidak bisa dipaksakan… menggunakan Rp300 juta untuk produk itu. Tapi apalah artinya nanti konsekuensi logis dari produk itu ya membuat pemborosan lebih besar.” Pernyataan ini defensif. Jika OB yang sah justru menghasilkan “produk gagal,” maka persoalannya ada pada mekanisme seleksi. Bukankah OB dirancang agar menghasilkan pejabat profesional dan layak?

Iklan

Ketiga, argumen Bupati bahwa “Sekda itu strategis, harus memahami visi misi bupati” memperlihatkan orientasi sempit. Sekda bukan sekadar perpanjangan tangan bupati, melainkan jabatan administratif netral dan profesional. Jika hanya diukur dari keselarasan dengan visi bupati, OB kehilangan makna meritokrasi.

Keempat, analogi restoran yang digunakan Bupati—“koki yang membuat menu baru tanpa sepengetahuan owner”—menyederhanakan realitas. Sekda bukan “koki liar,” melainkan hasil seleksi resmi dengan panitia dan aturan. Jika hasilnya dianggap keliru, tanggung jawab ada pada penyelenggara proses, bukan pada “menu.” Apalagi, pemerintah daerah bukanlah rumah makan yang dikendalikan selera pemilik.

Kelima, Bupati menyebut: “Bukan persoalan hari ini pemborosan yang terjadi pada tahun sebelumnya, tapi saya menyelamatkan agar tidak terjadi pemborosan tata kelola di tahun-tahun berikutnya.” Pernyataan ini paradoks. Untuk mencegah pemborosan, justru dilakukan OB baru yang otomatis menguras anggaran lagi. Bukankah ini sama saja menciptakan pemborosan ganda?

Pada akhirnya, publik bisa menilai sendiri: rangkaian jawaban Bupati lebih banyak membangun pembenaran daripada konsistensi logis. Apa yang disebut sebagai “penyelamatan” justru berpotensi menambah beban anggaran sekaligus melemahkan kredibilitas tata kelola pemerintahan.

Pemerintahan yang sehat mestinya berbicara dengan konsistensi dan kejujuran—bukan dengan kontradiksi.

Penulis: Sadam Husen

News Feed