KUNINGAN ONLINE – Proses seleksi Sekretaris Daerah (Sekda) sejatinya adalah panggung profesionalisme tempat para ASN terbaik menunjukkan integritas, kompetensi, dan akuntabilitas. Namun, di balik layar, justru muncul kompetensi lain yang lebih dicari: kemampuan membentuk tim sukses dan menyusun anggaran non-APBD demi pemenangan.
Entah sejak kapan jabatan karier di birokrasi berubah seperti ajang Pilkada. Calon Sekda kini tak hanya menyiapkan makalah visi misi, tapi juga menyusun grand strategy pemenangan, menyewa konsultan, dan—konon—menyiapkan amplop berisi “penguat niat.” Jangan-jangan suatu hari nanti, kita akan melihat baliho calon Sekda berdiri di pinggir jalan, lengkap dengan tagline: Berpengalaman, Berkoneksi, dan Siap Modal.
Dalam logika politik, membentuk tim sukses dan menggelontorkan dana adalah hal lumrah. Tapi dalam birokrasi, ini anomali serius.
“ASN seharusnya menjauh dari praktik semacam itu. Jika seleksi Sekda dikotori manuver politik, maka akan lahir birokrasi yang dikendalikan transaksi, bukan akuntabilitas,” ujar Dewi Sartika, pengamat tata kelola pemerintahan.
Yang lebih mengejutkan, tim sukses calon Sekda bukan berasal dari aktivis atau partai politik, melainkan dari jejaring birokrasi sendiri. Ada yang bertugas melobi pejabat, ada yang mengatur narasi di media, dan ada yang mengkondisikan suasana hati para pengambil keputusan.
“Mengingat Sekda adalah jabatan publik, bukan milik bupati semata, maka sudah sewajarnya publik dilibatkan untuk menilai kapasitas kandidatnya,” tegasnya.
Posisi Sekda bukan sembarang jabatan. Ia adalah Ketua TAPD, Ketua Baperjakat, Ketua TKPRD, dan pengendali anggaran serta tata ruang. Artinya, jabatan ini menyentuh langsung kepentingan masyarakat luas. Maka dari itu, masyarakat, akademisi, pengusaha, hingga petani pun berhak melakukan uji publik atas kapasitas calon Sekda—bukan hanya menerima hasil akhir secara diam-diam.
Sebab jika proses seleksi Sekda dikotori praktik transaksional, yang dilantik bukan pemimpin birokrasi, tapi bendahara politik. Alih-alih melayani publik, Sekda bisa jadi lebih sibuk mengembalikan “modal” dan menjaga jaringan. Anggaran daerah tak lagi menjadi alat pembangunan, melainkan instrumen pengembalian investasi.