Wabup Kuningan Bantah Dugaan Rangkap Jabatan sebagai PPAT, Ini Penjelasannya

KUNINGAN ONLINE – Dugaan rangkap jabatan yang melibatkan Wakil Bupati Kuningan, Tuti Andriani, S.H., M.Kn., sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tengah menjadi sorotan publik. Temuan ini memunculkan diskursus serius seputar etika pemerintahan, integritas pejabat publik, serta kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Berdasarkan data yang terhimpun, nama Tuti Andriani masih tercatat sebagai PPAT aktif dalam basis data resmi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Status tersebut menuai pertanyaan publik terkait kepatuhan terhadap aturan yang secara tegas melarang pejabat negara merangkap jabatan sebagai PPAT

Iklan

Menanggapi hal tersebut, Tuti Andriani memberikan klarifikasi langsung kepada awak pada Jumat (18/4/2025). Ia membantah tudingan rangkap jabatan dan menegaskan bahwa dirinya telah mengajukan cuti sebagai Notaris dan mengundurkan diri sebagai PPAT sejak sebelum dilantik sebagai Wakil Bupati.

“Kalau mengajukan (pengunduran diri) sudah lama, tapi ada berkas yang belum lengkap dari Kemendagri,” ujar Tuti.

Iklan

Ia mengakui bahwa hingga saat ini proses pemberhentian dirinya sebagai PPAT memang belum tuntas, karena terkendala pada kelengkapan administrasi yang belum sepenuhnya dilengkapi. Meski begitu, Tuti menegaskan bahwa dirinya sudah tidak lagi menjalankan aktivitas sebagai PPAT sejak dilantik.

“Yang terpenting, saya sudah tidak menjalankan aktivitas yang berkaitan dengan PPAT pasca dilantik,” tegasnya.

Disinggung soal dokumen pertanahan yang didaftarkan ke ATR/BPN Kuningan atas nama Tuti Andriani setelah ia menjabat sebagai Wakil Bupati.

Tuti menjelaskan bahwa dokumen-dokumen tersebut ditandatangani jauh sebelum pelantikannya pada 20 Februari 2025, dan baru didaftarkan belakangan karena faktor teknis di lapangan.

“Itu dokumen yang ditandatangani sebelum 20 Februari 2025. Memang baru didaftarkan baru-baru ini,” jelasnya.

Ia menambahkan, keterlambatan dalam pendaftaran akta tanah bukan hal yang aneh dalam praktik, karena bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti proses pengukuran ulang atau kekurangan data teknis di lapangan.

“Seperti yang didaftarkan pada 20 Maret itu, aktanya sudah ditandatangani sejak Desember 2024. Kadang proses pengukuran atau validasi data membutuhkan waktu lebih lama,” kata Tuti.

Padahal, sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006, PPAT wajib menyampaikan akta dan dokumen pendukung ke kantor pertanahan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penandatanganan. Bila melebihi tenggat waktu, pendaftaran tetap dimungkinkan, namun PPAT bisa dikenakan sanksi administratif jika tidak disertai penjelasan yang sah.

Meski Tuti telah memberikan penjelasan, publik tetap menantikan kejelasan hukum dari pihak yang berwenang, seperti Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri. Sampai saat ini, belum ada surat resmi pemberhentian dari Menteri ATR/BPN yang mengonfirmasi bahwa Tuti Andriani tidak lagi menjabat sebagai PPAT.

Kejelasan ini menjadi penting demi menjaga prinsip good governance, transparansi, dan akuntabilitas publik, terutama dalam menghindari potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan jabatan publik. (OM)