Pemilihan Rektor UNIKU di Persimpangan: Antara Meritokrasi dan Politik Kekuasaan

Galeri, Opini304 views

Oleh: Firgy Ferdansyah – Ketua DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Kabupaten Kuningan

Pemilihan rektor bukan sekadar rutinitas administratif lima tahunan. Ia adalah momentum strategis yang menentukan arah kebijakan, integritas akademik, dan marwah Universitas Kuningan (UNIKU) sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berperan mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, proses pemilihan rektor harus dijauhkan dari kepentingan politik pragmatis, dan benar-benar menegakkan prinsip meritokrasi—penghargaan terhadap prestasi, kapasitas, dan integritas, bukan kedekatan personal atau kepentingan kelompok.

Iklan

Prinsip meritokrasi menempatkan kemampuan, rekam jejak, serta prestasi akademik sebagai ukuran utama. Dalam konteks universitas, hal ini berarti calon rektor harus memiliki visi akademik yang jelas, pemahaman mendalam terhadap tata kelola perguruan tinggi, serta integritas moral yang teruji.
UNIKU tidak boleh terjebak dalam politik transaksional yang menjadikan jabatan rektor sekadar alat distribusi kekuasaan. Jabatan rektor adalah amanah intelektual, bukan komoditas politik.

Kampus bukan panggung kekuasaan, melainkan ruang peradaban. Ketika logika kedekatan dan kompromi mendominasi, yang lahir bukan pemimpin akademik, melainkan administrator tanpa arah. Dalam jangka panjang, hal itu menggerus kredibilitas institusi dan mematikan semangat meritokrasi yang menjadi fondasi universitas modern.

Iklan

Proses pemilihan rektor yang sehat menuntut transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi sivitas akademika secara bermartabat. Panitia pemilihan harus menjamin prosedur yang objektif dengan indikator penilaian yang terukur. Setiap tahapan — mulai dari penjaringan, penyaringan, hingga pemilihan akhir — wajib terbuka bagi publik kampus, agar terhindar dari kecurigaan manipulasi dan intervensi eksternal.

Mahasiswa sebagai bagian dari academic stakeholders memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal proses ini. Keterlibatan kritis mahasiswa bukanlah bentuk intervensi, melainkan ekspresi kepedulian terhadap masa depan universitas.

Rektor sebagai Figur Moral dan Intelektual

Seorang rektor bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga figur moral dan intelektual. Ia harus menjadi teladan dalam berpikir kritis, beretika, dan berani melawan setiap bentuk penyimpangan nilai-nilai akademik. Karena itu, pemilihan rektor tidak boleh menjadi ajang kompromi yang mengorbankan kualitas demi kepentingan sesaat.

Universitas Kuningan membutuhkan rektor yang mampu memimpin dengan pikiran jernih, hati bersih, dan rekam jejak yang jelas—bukan mereka yang hanya lihai membangun koalisi kekuasaan tanpa gagasan.