KUNINGAN ONLINE – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan pemerintah pusat rupanya belum melibatkan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Kuningan. Padahal, daerah ini memiliki potensi besar di sektor pangan olahan.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang UMKM Perindustrian Dinas Koperasi, UKM, Perdagangan, dan Perindustrian (Diskopdagperin) Kabupaten Kuningan, Alvin Fitranda, ST., M.Si, Rabu (15/10/2025).
Menurut Alvin, penyebab utama belum terlibatnya UMKM Kuningan dalam program MBG karena sebagian besar pelaku usaha di daerah ini bergerak di sektor produk olahan, bukan bahan baku utama seperti beras, telur, atau sayur-mayur yang menjadi kebutuhan pokok dalam skema MBG.
“Selama ini UMKM Kuningan belum dilibatkan dalam program MBG karena kebanyakan mereka adalah produsen makanan olahan, bukan penyedia bahan baku. Padahal peluangnya besar kalau mereka bisa beradaptasi dan memenuhi standar yang dibutuhkan,” ujar Alvin.
Ia menjelaskan, agar bisa masuk ke dalam rantai pasok program pemerintah seperti MBG, pelaku usaha perlu memenuhi sejumlah persyaratan teknis dan administratif, mulai dari standar harga, kapasitas produksi, hingga legalitas pangan.
“Kita harus tahu dulu apa saja persyaratannya. Misalkan untuk produk abon, harganya ditetapkan Rp25.000 per kilogram. Kita tanya dulu ke pelaku UKM, sanggup tidak dengan harga segitu. Kalau tidak sanggup, ya jangan kita usulkan,” jelasnya.
Alvin menegaskan, pihaknya tidak ingin memaksakan pengusulan pelaku usaha yang belum siap karena berisiko ditolak.
“Kita sampaikan dulu pahitnya seperti apa supaya UKM siap dari awal. Jadi, jangan sampai sudah diusulkan tapi akhirnya dipatahkan karena tidak memenuhi kriteria,” tuturnya.
Selain soal harga, Alvin juga menyoroti pentingnya skema pembayaran dan kemampuan produksi. Bila pembayaran baru dilakukan satu bulan setelah penagihan, maka pelaku usaha harus memiliki modal cukup agar operasional tetap berjalan.
“Dari situ kita bisa melihat kesiapan UKM, karena tidak semua sanggup menanggung beban itu,” katanya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa peningkatan kapasitas dan pendampingan menjadi kunci agar pelaku UMKM Kuningan dapat naik kelas dan masuk ke rantai pasok nasional.
“Minimal UKM punya legalitas pangan, baik izin edar, PIRT, atau sertifikasi lainnya. Itu pintu awal supaya bisa masuk ke sistem,” tegasnya.
Alvin juga mengungkapkan bahwa sistem MBG dan rantai pasok digital di tingkat nasional kini sudah berjalan secara daring dan real-time, melibatkan ahli gizi serta penyusun menu di setiap dapur layanan publik. Karena itu, produk olahan dari UKM lokal seharusnya mulai dipetakan agar bisa diintegrasikan ke dalam sistem tersebut.
“Kalau produk olahan Kuningan bisa masuk ke sistem itu, misalnya sebagai lauk tambahan atau pencuci mulut, tentu akan memperluas pasar mereka. Minimal produk kita dikenal dan terdaftar,” ujarnya.
Berdasarkan data Diskopdagperin Kuningan, jumlah UMKM di daerah ini mencapai sekitar 42.900 unit usaha, dengan sekitar 12 ribu di antaranya aktif. Dari jumlah tersebut, sekitar 7 ribu masih memiliki omset di bawah Rp500 juta per tahun.
“Yang di bawah itu memang belum terkena regulasi tertentu, tapi tetap harus kita dorong agar mereka tumbuh naik kelas,” tambah Alvin.
Menutup keterangannya, Alvin menegaskan bahwa kualitas, kesiapan, dan legalitas merupakan tiga faktor penting agar UMKM Kuningan tidak lagi hanya menjadi penonton dalam program nasional seperti MBG.
“Kami di Diskopdagperin akan terus mendampingi, tapi kesiapan tetap harus datang dari pelaku usahanya sendiri,” pungkasnya. (OM)









