Konstruksi kasus dalam permasalahan dugaan pemerasan terhadap investor yang melibatkan pejabat PAM Tirta Kemuning atau PDAM Kuningan, kalau menurut pandangan hukum sudah termasuk pada kategori turut serta dalam sebuah tindak pidana pemufakatan jahat. Dimana pihak dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) diduga melakukan permintaan sejumlah uang kepada investor melalui PDAM untuk pemenuhan kebutuhan mereka tanpa dasar yang jelas.
Ini bisa dikatakan sebagai dugaan tindak pidana pemerasan kepada pihak investor yaitu PT. Tirta Kuning Ayu Sukses. Dimana pihak PDAM Kuningan bisa tersangkut karena memfasilitasi adanya dugaan permintaan uang tersebut bahkan sudah disampaikan kepada pihak investor sehingga unsur mens rea nya terpenuhi.
Seharusnya dari pihak PDAM Kuningan kalau memang merasa hal tersebut sesuatu yang tanpa dasar dan itu merupakan perbuatan tindak pidana yang melanggar hukum, maka sudah seharusnya mereka melaporkan hal tersebut kepada pihak aparat penegak hukum bukan malah memfasilitasinya. Itu sama saja PDAM Kuningan bekerjasama dengan BTNGC untuk memeras pihak investor.
Bukti sangat jelas terlihat pada klausul yang tercantum dalam berita acara resmi yang ditandatangani oleh beberapa pihak yaitu 6 pejabat TNGC dan 2 dari pejabat PDAM. Perbuatan yang dilakukan oleh mereka jelas mencederai perang terhadap korupsi yang sekarang sedang digencarkan oleh Presiden Indonesia Prabowo Subianto.
Pihak PDAM Kuningan mengatakan bahwa mereka sudah mempunyai legalitas berupa surat rekomendasi dari KLHK dan lainnya, lalu permintaan dari pihak TNGC ini untuk apa lagi? Sudah tahu tanpa ada dasar hukum terus kenapa PDAM Kuningan merespon dan menyampaikan pemerasan itu kepada pihak investor untuk dikoordinasikan? Sehingga dugaan tindak pidana korupsi Gratifikasi dan Pemerasan dalam Perjanjian Kerjasama antara PAM Tirta Kemuning dengan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai tahun anggaran 2025, unsurnya sudah terpenuhi karena para pejabat BTNGC yang terlibat statusnya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf (b) dan e Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Selain dugaan adanya peristiwa kasus gratifikasi dan pemerasan di atas. Dalam perkembangan pemeriksaan BTNGC dan PDAM juga diduga terlibat perusakan kawasan hutan konservasi (TNGC) yang melanggar keras UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dimana tertanam pipa ukuran 12 inch (sangat besar) terpasang sepanjang 300 meter yang merusak dan melewati kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang merupakan kawasan konservasi atau daerah terlarang untuk di eksploitasi oleh siapapun dan ironisnya pipa itu sampai saat ini belum juga dibongkar.
Apalagi terdapat Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal KSDAE Nomor : SK.193/KSDAE/RKK/KSA.0/10/2022 tentang Zona Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) sebagai daerah konservasi yang menyebutkan bahwa Kepala TNGC selaku penanggung jawab pengelola kawasan.
Artinya yang bersangkutan dalam kewenangannya memahami betul tupoksi kerja dan keharusan untuk menjaga kawasan serta tahu aturan dan larangan bahwa tidak boleh ada praktik perambahan atau perusakan hutan di wilayah TNGC sebagai daerah konservasi. Yang bersangkutan juga bisa menindak tegas siapa saja yang merusak kawasan TNGC bukan sebaliknya diam apalagi membiarkan kalau terjadi perusakan daerah konservasi secara terang-terangan atau kasat mata.
Luar biasanya lagi Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) pada tanggal 19 Maret 2025 telah membuat Surat Edaran (SE) Nomor : 26/PM.05.02/PEREK yang ditujukan kepada :
1. Bupati/Walikota se-Jawa Barat,
2. Pimpinan Instansi Vertikal/BUMN/BUMD/BUMS
3. Kepala Dinas/Badan Perangkat Daerah (PD) lingkup Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Yang berisi tentang penghentian sementara penerbitan perizinan berusaha dan non berusaha dalam rangka pemanfaatan lahan pada kawasan hutan dan kawasan perkebunan dengan pengecualian untuk kegiatan perlindungan lingkungan. Kalau Gubernur Jawa Barat saja berani mereka lawan berarti perbuatannya sudah seperti mafia sungguhan.
Skema kerjasama antara pihak investor yaitu PT Tirta Nusantara Sukses (Salim Group) dengan manajemen PAM Tirta Kemuning yang kemudian membentuk perusahaan bersama yang bernama PT Tirta Kuning Ayu Sukses adalah terkait bisnis penjualan air baku kepada PDAM Indramayu.
Ternyata selain itu pihak PAM Tirta Kemuning juga diam-diam diketahui menjual air kepada salah satu anak perusahaan dari PT. Tirta Kuning Ayu Sukses tanpa diketahui oleh publik maupun Kuasa Pemilik Modal (KPM). Parahnya mereka menjual limpasan air dari sumber mata air Talaga Remis dan Talaga Nilem yang peruntukannya untuk mengairi sawah para petani di sekitarnya.
Penjualan air tersebut tidak memiliki izin baik dari dinas Pekerjaan Umum Tata Ruang (PUTR) maupun dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sehingga aktivitas pengambilan air oleh mereka dari limpasan air yang bersumber dari sumber mata air Talaga Remis dan Talage Nilem adalah tindakan ilegal melawan hukum dan harus di stop.
Izin tidak turun dengan pertimbangan perlindungan terhadap hak para petani dan potensi konflik sosial tinggi yang sekarang memanas di wilayah tersebut akibat adanya protes keras karena kebutuhan air untuk para petani dan masyarakat sekitar terganggu tidak bisa terpenuhi.Kasus ini sekarang sedang diusut dan ditangani serius oleh Unit Tipikor Polres Kuningan.
Yang pasti tindakan gegabah dan ceroboh yang telah dilakukan oleh manajemen PDAM itu tidak diketahui oleh Bupati Kuningan selaku KPM sehingga pihak direksi harus bertanggung jawab penuh terhadap kesalahan konyol dan tolol yang mereka perbuat sendiri dengan tidak mentaati perintah pimpinan daerah yang telah menegaskan akan menindak tegas siapapun pihak yang mengganggu investor dan menghancurkan komitmen Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi.
Uha Juhana Ketua LSM Frontal





