100 Hari Dian–Tuti: Kepemimpinan yang Dibayangi Fatamorgana

Galeri, Opini163 views

Oleh: Uha Juhana
Ketua LSM Frontal Kabupaten Kuningan

Seratus hari adalah waktu yang cukup untuk melihat niat, arah, dan semangat seorang pemimpin. Bukan untuk menuntut hasil sempurna, tapi untuk merasakan denyut kepemimpinan yang bekerja, menyentuh, dan menjawab keresahan rakyat. Namun apa yang terjadi di Kabupaten Kuningan selama 100 hari kepemimpinan Dian Rachmat Yanuar dan Tuti Andriani, justru meninggalkan tanda tanya besar: ke mana arah perubahan yang dijanjikan?

Iklan

Hari ini, ekonomi rakyat berada dalam kondisi memprihatinkan. Untuk sekadar bertahan hidup, banyak warga harus berjibaku di tengah lemahnya daya beli. Pasar-pasar tradisional sepi. Pedagang mengeluh. Tak ada uang yang berputar. Dan kita semua tahu: ketika ekonomi rakyat mati, maka derita sosial akan segera menyusul.

Lalu kita lihat ke jalan-jalan. Dari kota hingga pelosok desa, jalan rusak menjadi pemandangan umum. Mobilitas terhambat, akses distribusi barang terhambat, pembangunan pun terbentur infrastruktur yang dibiarkan apa adanya.

Iklan

Sementara itu, pengangguran terbuka terus bertambah. Lulusan sekolah dan perguruan tinggi menumpuk tanpa arah. Di sisi lain, lowongan kerja terbatas, peluang usaha semakin sulit. Kesenjangan sosial-ekonomi pun makin jomplang: yang kaya makin berjaya, yang miskin makin terseok-seok.

Sayangnya, aparatur birokrasi kita banyak yang bekerja sebatas formalitas. Tak ada semangat melayani, tak ada terobosan. Ini ditambah dengan realisasi PAD yang hanya menyentuh 18 persen pada triwulan pertama 2025—sinyal bahwa kemampuan fiskal kita sedang dalam titik kritis. Defisit anggaran dan gagal bayar membuat hampir tak ada kegiatan nyata yang menyentuh masyarakat. APBD lumpuh, pelayanan mandek, perputaran ekonomi lokal mati.

Lebih jauh, gaya kepemimpinan Bupati terkesan elitis, jauh dari rakyat. Kata “merakyat” tinggal slogan. Banyak tokoh bahkan masyarakat awam merasa kesulitan menjangkau pemimpinnya sendiri. Kuningan kehilangan figur pemersatu, pengayom, dan pendengar.

Jargon “Kuningan Melesat” kini terdengar sumbang di telinga rakyat. Kita justru melihat realitas yang stagnan, bahkan cenderung mundur. Bila arah tidak segera diperbaiki, bukan tidak mungkin masa depan Kuningan justru makin suram.

Yang paling ironis: pemerintahan hari ini tampak seperti berjalan otomatis. Tidak ada gebrakan, tidak ada penyegaran birokrasi, tidak ada semangat perubahan. Kita seperti menonton pertunjukan kekuasaan yang berjalan atas nama rutinitas belaka, mempertahankan status quo sambil menunggu waktu berlalu.