KUNINGAN ONLINE – Polemik seleksi terbuka (Open Bidding/OB) jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kuningan kembali mencuat. Setelah melalui proses panjang di tahun 2024 pada era Penjabat (Pj) Bupati Iip Hidajat yang telah menghasilkan tiga nama calon Sekda, hasil OB itu justru dibatalkan oleh Bupati definitif, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar.
Agustia Pratiwi, warga Kuningan yang akrab disapa Tia, menyebut langkah tersebut sebagai keputusan absurd.
“Coba bayangin, ada keputusan resmi, sah, sudah lewat proses panjang, terus tiba-tiba dibatalin cuma gara-gara ‘selera’ pemimpin baru. Absurd kan? Nah, inilah yang lagi terjadi di Kuningan soal drama OB Sekda,” ujarnya kepada Kuningan Online, Senin (18/8/2025).
Menurutnya, proses OB Sekda 2024 sudah sah, legal, bahkan menggunakan anggaran dari pajak rakyat. Namun, begitu masuk era Bupati baru, hasilnya justru dibatalkan.
“Dan dengan enteng, OB baru dibuka lagi tahun 2025. Ironisnya, tiga nama lama tetap bisa ikut. Kalau pak bupati kekeh OB baru, saya yakin tiga nama itu tidak akan lolos seleksi. Biar waktu yang menjawab,” ungkap Tia.
Analogi IKN
Untuk memudahkan generasi muda memahami isu ini, Tia membuat analogi dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
“Bayangkan Presiden Jokowi bangun IKN di Kalimantan, sudah keluar triliunan rupiah. Terus pas Prabowo naik, dia bilang: ‘Nggak jadi ah, saya bikin IKN baru aja di Aceh.’ Apa reaksi publik? Tentu bukan cuma soal setuju atau tidak, tapi jelas buang-buang duit pajak rakyat, bikin tidak pasti, dan menunjukkan kepemimpinan gampang goyah,” tuturnya.
Hal serupa, lanjutnya, terjadi di Kuningan. OB Sekda yang sah dibatalkan, lalu dibuka ulang.
“Kalau ujung-ujungnya tiga nama lama yang muncul lagi, ya sama saja seperti hasil OB 2024,” kata Tia.
Kritik untuk Bupati
Ia menilai OB Sekda ulang hanya formalitas politik. “Panggung sandiwara birokrasi yang makan biaya, buang energi, tapi ending-nya udah diskenariokan. Seharusnya bupati bisa menggunakan momen OB untuk menunjukkan kepemimpinan visioner, konsisten, tegas. Tapi yang terlihat malah sebaliknya: plin-plan, tarik-ulur kepentingan,” ujarnya.
Kenapa Publik Harus Peduli?
Menurut Tia, isu ini bukan semata soal siapa yang duduk di kursi Sekda, melainkan menyangkut hak rakyat sebagai pembayar pajak.
“Setiap kali saya ngopi, nyemil, atau sekadar nongkrong di warung dan kafe, pemerintah daerah memungut pajak dari makanan dan minuman. Artinya, uang pajak saya ikut membiayai jalannya pemerintahan. Jadi wajar bila saya bersuara,” tegasnya.
Wibawa Pemerintahan
Ia menambahkan, jika publik diam, pola seperti ini akan terus berulang: membatalkan proses yang sah, membuka ulang seleksi, dan membuang anggaran.
“OB Sekda hari ini jadi cermin rapuhnya arah pikir pemimpin daerah. Kritik ini bukan buat menjatuhkan, tapi untuk menjaga marwah tata kelola pemerintahan. Karena jujur aja, Kuningan nggak butuh drama kayak sinetron sore. Kuningan butuh pemimpin yang konsisten, transparan, dan bermartabat,” pungkasnya. (OM)