Ancaman Polarisasi Abadi: Politik Identitas Sebagai Strategi Memperoleh dan Mempertahankan Kekuasaan

Galeri, Opini252 views

Indonesia dikenal sebagai negara dengan banyak variasi, yang memiliki beragam kelompok mulai dari suku, agama, ras, etnis, dan budaya. Variasi ini memerlukan setiap orang untuk dapat menyesuaikan diri satu sama lain. Namun, perbedaan ini juga dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik yang berkaitan dengan identitas suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), sehingga beberapa individu atau komunitas mungkin mudah terpengaruh oleh situasi tersebut. Konflik yang sering muncul dalam masyarakat ini bukanlah tanpa alasan, permasalahan ini muncul karena ada kelompok yang memanfaatkan identitas demi mencapai kepentingan politik tertentu.

Ada suatu pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang lebih menakutkan ketimbang perpecahan di dalam internal bangsa, yang disebabkan oleh penggunaan strategi emosi atas politik identitas yang berbasis SARA atau bahkan masalah-masalah ekonomi guna mendapatkan dukungan politis. Polarisasi politik adalah kondisi di mana pandangan politik masyarakat menjadi terkonsentrasi di dua kutub yang berlawanan, dan jarak di antara kedua kutub tersebut semakin jauh.

Iklan

Bahaya akan politik identitas sebenarnya sudah disadari sejak masa kolonial. Rezim kolonial sangat getol dalam mendoktrin ajaran nasionalisme, hal tersebut dimaksudkan agar konflik-konflik yang disebabkan karena multi-identitas tidak terjadi. Selain menggunakan doktrin nasionalisme, rezim kolonial juga. Menggunakan cara-cara represiv dan otoriter. Kendati konflik-konflik identitas berhasil diredam, hal tersebut berdampak pada pergeseran populasi rasial berbasis identitas tertentu menjadi populasi nasional serta gilirannya berakibat pada nilai-nilai lokal (local wisdom) yang mengalami degradasi.

Penggunaan politik identitas oleh aktor politik adalah pilihan strategis yang rasional dan sangat efektif, terutama karena menawarkan biaya politik yang rendah dengan potensi hasil elektoral yang tinggi.

Iklan

Tujuan utamanya adalah menciptakan loyalitas yang sulit digoyahkan. Ikatan identitas (agama, suku, etnis) memiliki akar psikologis dan sosial yang jauh lebih dalam, sehingga mampu membangun basis pemilih (voter base) yang solid dan tahan guncangan dibandingkan dengan loyalitas yang hanya didasarkan pada ideologi atau program kerja.

Strategi ini berfungsi sebagai perisai politik yang efektif: Dengan terus-menerus memfokuskan perdebatan pada isu identitas, isu-isu substansial yang dapat merugikan elektabilitas seperti korupsi, kegagalan tata kelola, atau kemiskinan menjadi teralihkan. Ini secara strategis membuat lawan tidak relevan, karena mereka akan kesulitan menyerang balik tanpa dituduh menyerang atau melecehkan identitas kelompok yang dimobilisasi. Singkatnya, politik identitas adalah jalan pintas menuju kekuasaan dengan risiko minimum dan hasil maksimal.

Konsekuensi langsung dari konflik identitas yang terus menerus adalah Erosi Kepercayaan publik. Ketika masyarakat terpecah menjadi dua kubu yang saling bermusuhan, setiap kelompok cenderung melihat institusi publik (termasuk media massa, lembaga penegak hukum, dan bahkan penyelenggara pemilu) bukan sebagai penjaga netral, melainkan sebagai alat yang membela kelompok lawan. Kepercayaan terhadap pilar-pilar demokrasi pun runtuh, mempersulit penerapan hukum dan kebijakan yang adil.

Pada akhirnya, polarisasi menyebabkan Stagnasi Pembangunan nasional. Energi dan sumber daya politik yang seharusnya digunakan untuk merencanakan reformasi, mengatasi ketidaksetaraan, dan mendorong pertumbuhan jangka panjang, malah habis terkuras untuk konflik dan perang identitas yang tak berujung.

Kondisi ini menciptakan pemerintahan yang tidak stabil, tidak mampu fokus, dan hanya reaktif terhadap tuntutan emosional basis pendukung, sehingga menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan.Politik identitas bukanlah bagian alami dari kontestasi, melainkan sebuah racun sistemik yang sengaja disuntikkan untuk merusak fondasi demokrasi dan persatuan bangsa.

Taktik ini berfungsi sebagai mekanisme yang secara efektif menjamin kekuasaan bagi segelintir elite yang cerdik dan oportunis. Dengan membakar sentimen primordial dan memecah belah warga negara menjadi kubu ‘kami’ dan ‘mereka’, elite politik berhasil mengalihkan energi kolektif dari tuntutan akuntabilitas dan program kerja yang substantif.

Pada akhirnya, yang terjadi adalah korban sejati: kualitas demokrasi menurun, kepercayaan publik terkikis, dan agenda pembangunan jangka panjang terhambat, demi melanggengkan kekuasaan pihak-pihak yang mahir memainkan api polarisasi.

Nama : Nazzwa Verisca Mutiara

Prodi Tadris IPS Keguruan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon