Narasi Hoaks dan Politik Identitas: Dampak Disinformasi Terhadap Integritas Elektoral dan Kepercayaan Publik pada Pejabat Negara

Galeri, Opini193 views

Demokrasi kontemporer di seluruh dunia menghadapi ancaman eksistensial yang berasal dari konvergensi dua kekuatan destruktif yaitu disinformasi (hoaks) dan politik identitas. Sinergi ini secara sistematis mengikis fondasi tata kelola berbasis rasionalitas dan kepercayaan publik.

Ancaman ini mencapai tingkat intensitas tertinggi dan paling berbahaya khususnya pada momen pemilu, di mana penyebaran narasi hoaks yang dipicu identitas menjadi sangat kuat, secara langsung mengancam integritas elektoral dan merusak kepercayaan publik terhadap pejabat, institusi negara, serta proses demokrasi itu sendiri.

Iklan

Tujuan utama penulisan ini adalah untuk menguraikan hubungan sebab-akibat yang kompleks antara tiga variabel kunci yaitu hoaks, politik identitas, dan kerusakan integritas elektoral serta merumuskan rekomendasi kebijakan yang terperinci dan praktis guna mengatasi krisis kepercayaan dan polarisasi sosial yang ditimbulkan oleh fenomena ini.

Tinjauan konseptual dimulai dengan mendefinisikan dan membedakan antara hoaks, misinformasi, dan disinformasi. Selain itu, media sosial diidentifikasi memiliki peran penting sebagai media utama dalam penyebaran disinformasi.

Iklan

Selanjutnya konsep politik identitas yang melibatkan pemanfaatan isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) sebagai alat untuk mobilisasi dan diferensiasi politik, konsep ini didukung teori polarisasi yang menjelaskan bagaimana penguatan identitas kelompok dapat menciptakan in-group dan out-group yang sulit untuk berkompromi satu sama lain.

Terakhir, integritas elektoral merujuk pada definisi dan indikator dari pemilihan yang bebas dan adil, dan kepercayaan politik (Political trust) merupakan dimensi penting dan modal sosial demokrasi yang sangat bergantung pada kepercayaan publik.

Hasil analisis ini menunjukan bagaimana narasi hoaks dan politik identitas saling berinteraksi untuk membentuk pandangan publik dan mengukur dampak kerusakan fenomena ini pada dua pilar demokrasi yaitu integritas elektoral dan kepercayaan publik. Interaksi hoaks dan politik identitas terjadi melalui dua mekanisme utama.

Pertama, penguatan echo chamber, di mana hoaks yang sesuai dengan bias identitas kelompok (confirmation bias) diserap tanpa kritik, yang pada gilirannya memperkuat dinding pemisah antar-kelompok.

Kedua, melalui emotionalisasi politik, di mana narasi hoaks yang berbasis identitas secara efektif memicu emosi dasar seperti ketakutan dan kebencian, yang mengalahkan rasionalitas pemilih dalam membuat keputusan. Gabungan kerusakan ini memiliki dampak berganda.

Dampak utama terhadap integritas elektoral dan proses pemilu yang adil dan jujur meliputi delegitimasi hasil dan proses pemilu, di mana penyebaran narasi kecurangan masif yang tidak terverifikasi mengancam pengakuan terhadap hasil sah dengan memanipulasi preferensi pemilih, karena hoaks mengubah pandangan pemilih terhadap kandidat secara irasional dan menggeser fokus dari program menjadi pandangan, serta ancaman terhadap netralitas penyelenggara, melalui serangan disinformasi yang ditujukan kepada KPU atau Bawaslu untuk merusak integritas mereka.

Selain itu, hoaks yang dipicu identitas juga memiliki dampak krusial terhadap kepercayaan publik pada pejabat dan institusi negara, yang memicu krisis otoritas faktual karena publik kesulitan membedakan fakta dan fiksi, berujung pada menurunnya kepercayaan pada media arus utama dan sumber resmi pemerintah. Akhirnya, hal ini menyebabkan menurunnya kepercayaan pada pejabat dan institusi secara umum, karena hoaks menciptakan citra negatif terhadap figur dan lembaga negara, yang pada akhirnya memperburuk apatisme politik.

Sebagai kesimpulan, interaksi antara hoaks dan politik identitas terbukti tidak hanya merusak hasil pemilu, tetapi secara fundamental juga merusak modal sosial dan budaya politik demokrasi. Krisis kepercayaan yang diakibatkannya merupakan ancaman jangka panjang bagi stabilitas politik.

Oleh karena itu, untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan tindakan mendalam yang mencakup empat area utama. Pertama, penguatan literasi digital dan politik kritis melalui integrasi pendidikan media kritis dalam kurikulum nasional. Kedua, regulasi dan penegakan hukum yang tegas, di mana tindakan hukum yang transparan harus diterapkan terhadap penyebar hoaks tanpa membatasi kebebasan berekspresi.

Ketiga, diperlukan peran elite dan media yang bertanggung jawab, yaitu seruan bagi elite politik untuk menghindari praktik politik identitas yang destruktif dan bagi media untuk meningkatkan pemeriksaan fakta kolaboratif.

Keempat, penguatan kualitas institusi demokrasi menjadi penting melalui peningkatan transparansi KPU dan badan pemerintah untuk melawan narasi disinformasi dengan data dan fakta yang menyakinkan.

Nama : Zabrina Fazrin Adzani

Prodi Tadris IPS Keguruan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon