KUNINGAN ONLINE – Dalam era modern yang dipenuhi hiruk pikuk informasi, hiburan menjadi kebutuhan penting masyarakat. Namun, hiburan tidak sekadar hadir untuk mengundang tawa atau menghapus penat. Lebih dari itu, hiburan bisa menjadi medium kritik sosial yang halus, tajam, dan menggugah.
Drama satir adalah salah satu bentuk hiburan yang memadukan kelucuan dengan sindiran, menyajikan refleksi kehidupan nyata melalui absurditas dan ironi. Naskah Cipoa karya Putu Wijaya, yang dipentaskan oleh Teater Pecut UNIKU, merupakan contoh menawan bagaimana satir tetap relevan untuk masyarakat modern.
Cipoa bercerita tentang penemuan emas besar oleh para pekerja tambang. Juragan, pemilik tambang, memilih menyembunyikan kabar ini dengan alasan “demi kebaikan bersama”. Ia memanipulasi kenyataan, dibantu istri dan orang-orang terdekatnya, demi menjaga stabilitas dan kontrol.
Namun, kebohongan yang awalnya dianggap solusi justru melahirkan kekacauan moral yang lebih besar. Para pekerja yang semula menjadi korban kemudian ikut-ikutan berbohong demi memperoleh keuntungan. Di titik ini, satir yang ditawarkan Putu Wijaya menghadirkan gambaran cermin: bahwa manusia modern sering kali terjebak dalam lingkaran kebohongan, manipulasi, dan kepentingan diri.
Di sinilah letak kebutuhan hiburan modern melalui satir drama. Penonton masa kini terbiasa dengan konten hiburan cepat—film populer, media sosial, dan serial streaming. Akan tetapi, di balik derasnya hiburan ringan, ada kerinduan terhadap tontonan yang tidak hanya menghibur tetapi juga mengajak berpikir.
Satir hadir memenuhi kebutuhan ini. Ia memadukan humor dengan kritik, menertawakan absurditas kehidupan sekaligus menyentil kesadaran sosial. Penonton bisa tertawa, tetapi tawa itu sering berujung getir karena menyadari betapa dekatnya kisah dalam drama dengan realitas sehari-hari.
Cipoa, misalnya, menyinggung fenomena modern tentang “bohong demi kebaikan”. Dalam kehidupan kontemporer, kebohongan sering dilegitimasi dengan alasan stabilitas politik, harmoni sosial, atau bahkan demi “menyelamatkan perasaan orang lain”.
Putu Wijaya mengemas realitas ini dalam panggung absurd—bahwa kebohongan tidak pernah selesai, melainkan menimbulkan rantai masalah baru. Hiburan semacam ini sangat dibutuhkan, sebab masyarakat tidak lagi cukup hanya disuguhi tontonan yang lucu atau seru. Mereka ingin terhibur sekaligus tercerahkan, ingin tawa yang menyisakan pertanyaan, “Apakah saya juga bagian dari kebohongan itu?”
Selain itu, drama satir seperti Cipoa menegaskan bahwa hiburan modern tidak harus mewah dengan teknologi canggih. Justru melalui panggung teater sederhana, kekuatan dialog, dan akting para pemain, pesan bisa menyusup dengan lebih mendalam.
Penonton diajak masuk ke dalam ruang refleksi, tanpa sadar menjadi bagian dari kritik itu sendiri. Inilah keunggulan satir: ia tidak menggurui, melainkan menyindir dengan elegan, membuat orang tertawa sambil merenung.
Dengan demikian, kebutuhan hiburan modern bukan hanya tentang mencari kesenangan, melainkan juga tentang memenuhi dahaga intelektual dan emosional. Satir dalam drama menghadirkan keseimbangan itu.
Teater Pecut UNIKU lewat pementasan Cipoa telah menunjukkan bahwa satir masih sangat relevan, bahkan lebih dibutuhkan di tengah masyarakat modern yang sering larut dalam gemerlap hiburan instan. Melalui satir, hiburan tidak hanya memanjakan, tetapi juga mengingatkan kita untuk tetap jujur, kritis, dan waspada terhadap absurditas yang kita jalani sehari-hari.
Andriyana