Fenomena politik dinasti di Indonesia sudah menjadi sesuatu yang biasa. Dari level daerah hingga pusat, kekuasaan sering kali beralih diantara anggota keluarga yang serupa. Secara hukum, hal ini tidak dilarang, namun dari perspektif etika politik, situasi ini memunculkan pertanyaan: apakah kekuasaan masih digunakan untuk kepentingan rakyat, atau hanya diwariskan untuk mempertahankan pengaruh keluarga? nah sebelum masuk kedalam inti permasalahan tersebut, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan apa itu politik dinasti.
Mengenai politik dinasti sendiri adalah sebuah kekuasaan politik yang dijalankan dan dikuasai oleh sekelompok orang yang masih terikat oleh keluarga yang tujuannya adalah bisa tetap mempertahankan kekuasaan walaupun sudah diturunkan kepada anggota keluarga lain.Menurut Leo Agustino (dalam Wijoko Lestariono, Politik Dinasti dalam Kepemimpinan Desa), politik dinasti dapat diartikan sebagai bentuk “kerajaan politik” di mana para elit kekuasaan menempatkan anggota keluarga, kerabat, atau orang dekat mereka pada jabatan-jabatan penting, baik di tingkat lokal maupun nasional. Pola ini menjadikan kekuasaan seolah diwariskan secara turun-temurun dalam lingkaran keluarga tertentu.
Sementara itu, Martien Herna Susanti dalam jurnal Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia menjelaskan bahwa meluasnya praktik politik dinasti disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
• Sulitnya calon independen bersaing tanpa partai politik. Akses politik bagi calon perseorangan sangat terbatas sehingga peluangnya kecil dibandingkan mereka yang memiliki jaringan keluarga atau partai.
• Kelembagaan partai politik yang belum demokratis. Proses rekrutmen calon sering kali dikendalikan oleh segelintir elit partai, bukan berdasarkan kemampuan atau integritas.
• Tingginya biaya politik. Praktik mahar politik dan kebutuhan dana besar untuk kampanye membuka ruang bagi keluarga yang sudah berkuasa untuk mempertahankan posisinya.
• Rendahnya kesadaran politik masyarakat. Kurangnya pendidikan politik membuat masyarakat belum mampu menilai atau mengevaluasi praktik politik dinasti secara kritis.
Lalu bagaimana dengan peraturan mengenai politik dinasti yang ada di Indonesia?
Dikutip dari hukumonline.com, pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Pada Pasal 7 huruf r dalam UU tersebut disebutkan bahwa “calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Ketentuan ini semula dimaksudkan untuk membatasi peluang keluarga petahana mencalonkan diri, agar tidak terjadi praktik politik dinasti di daerah. Namun, Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan tersebut melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015, dengan alasan bahwa setiap warga negara berhak sama untuk memilih dan dipilih dalam posisi publik. Setelah itu, ketentuan mengenai batasan hubungan kekerabatan dihilangkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, yang merupakan amandemen kedua atas UU Pilkada sebelumnya.
Sebagai hasilnya, dari segi hukum, politik dinasti tidak dianggap melanggar konstitusi, asalkan calon memenuhi persyaratan administratif dan tidak melakukan pelanggaran hukum lainnya. Namun, dari perspektif etika politik, praktik ini tetap menimbulkan diskusi karena dianggap berpotensi menghalangi regenerasi kepemimpinan dan merusak prinsip demokrasi yang sebenarnya berlandaskan meritokrasi.
Lalu bagaimana dengan fakta yang ada dilapangan?
Kita ambil contoh nyata pada pemilihan kandidat calon presiden dan wakil pada tahun 2023. Pada waktu itu Prabowo Subianto ditunjuk dan bersedia menjadi calon presiden dengan nomor urut 02, ia kemudian menggandeng Gibran Rakabuming Raka, yang pada saat itu berusia 36 tahun dan sedang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, sebagai calon wakil presidennya.
Pencalonan Gibran dimungkinkan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah ketentuan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Putusan tersebut memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri asal pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah hasil pemilihan umum. Perubahan ini kemudian memunculkan perdebatan di masyarakat dan kalangan akademisi mengenai etika berpolitik dan independensi lembaga yudikatif, karena dinilai membuka peluang bagi praktik politik dinasti di tingkat nasional. Namun secara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sehingga keputusan tersebut sah menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu 2024.
Memang sudah seharusnya kita sebagai warga negara yang demokratis harus lebih “melek” dalam menghadapi polemik tersebut. Masyarakat seharusnya tetap bersikap kritis dan rasional terhadap dinamika politik yang terjadi. Kasus perubahan aturan usia calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2023 menjadi contoh bahwa politik dan hukum bisa berjalan beriringan dengan kepentingan tertentu.
Walaupun sekarang ini sudah menjadi “angin berlalu” namun kita harus lebih peka dengan hal serupa agar tidak terjadi hal-hal yang sama di kemudian hari. Dari semua hal yang sudah disampaikan, bisa ditarik kesimpulan dari artikel ini bahwa berpolitik dengan sesama keluarga dekat tidak bermasalah dan sah-sah saja secara hukum, namun dalam penerapannya, banyak sekali aturan-aturan yang diubah demi dimuluskannya kekuasaan antar keluarga yang lebih absolut.
Hal tersebut menuai perdebatan di masyarakat dan kalangan akademisi mengenai etika berpolitik yang benar. Namun walaupun sebagian pihak merasa tidak masalah dan tidak dirugikan, namun kita sudah seharusnya lebih peka dengan hal serupa agar tidak terjadi hal-hal yang sama lagi yang mungkin bisa merugikan rakyat di kemudian hari.
Nama : Rafiqan Qolbi Al-Faiz Prasetyono
Prodi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon





