Palestina dan Politik Pengakuan: Antara Harapan Global dan Realitas Penindasan

Galeri, Opini246 views

Oleh: Sultan Akmal Yusuf

Prodi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon

Iklan

Harapan yang Tak Pernah Padam

Selama lebih dari tujuh dekade, rakyat Palestina hidup di bawah bayang-bayang pendudukan dan blokade militer. Di Gaza, listrik hanya menyala beberapa jam sehari, air bersih menjadi barang langka, dan rumah-rumah yang hancur akibat serangan udara sulit diperbaiki karena pembatasan impor material.
Di tengah penderitaan itu, satu hal tak pernah padam: harapan akan kemerdekaan.

Iklan

Tahun 2024 menandai momentum baru. Spanyol, Norwegia, dan Irlandia resmi mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Inggris pun dikabarkan sedang mempertimbangkan langkah serupa. Langkah ini memberi sinyal bahwa sebagian dunia mulai menegaskan kembali pentingnya keadilan dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.

Namun, di balik harapan itu, realitas di lapangan tetap keras. Pendudukan masih berlangsung, blokade Gaza belum dicabut, dan kebijakan apartheid yang dijalankan Israel terus mengekang kehidupan sehari-hari rakyat Palestina.

Akar Panjang Sebuah Luka

Konflik Israel–Palestina bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan soal sejarah dan hak asasi manusia. Sejak tahun 1948—ketika Israel berdiri dan lebih dari 700 ribu warga Palestina diusir dari tanahnya dalam peristiwa Nakba—rakyat Palestina kehilangan ruang hidup dan identitas politik mereka.

Tepi Barat terus dipenuhi permukiman ilegal yang diperluas sedikit demi sedikit. Sementara di Gaza, blokade yang diberlakukan sejak 2007 menjadikan wilayah itu seperti “penjara terbuka” bagi lebih dari dua juta penduduknya.
Krisis kemanusiaan pun seolah menjadi rutinitas, bukan lagi kejadian luar biasa.

Dunia internasional tampak gamang. Amerika Serikat, sekutu utama Israel, kerap menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk menolak resolusi yang mengkritik kebijakan Israel. Sementara itu, negara-negara seperti Turki, Iran, dan sebagian besar anggota OKI tetap bersuara lantang, namun sering kali tidak diikuti tindakan nyata.

Politik Pengakuan: Simbol atau Solusi?

Gelombang pengakuan terhadap Palestina membawa angin segar dalam diplomasi global. Negara-negara Eropa yang sebelumnya berhati-hati kini mulai berani mengambil sikap terbuka.
Namun, apakah pengakuan ini cukup untuk mengubah realitas?

Jawabannya belum tentu. Pengakuan politik adalah simbol penting, tetapi tidak otomatis menghentikan pelanggaran di lapangan.
Selama Israel masih menguasai wilayah pendudukan dan dunia tidak memiliki mekanisme penegakan hukum yang tegas, pengakuan kenegaraan hanya menjadi “janji di atas kertas”.

Amerika Serikat tetap menolak pengakuan unilateral dengan alasan bahwa status kenegaraan Palestina harus dicapai melalui negosiasi langsung. Israel pun menyebut langkah-langkah pengakuan sebagai ancaman terhadap keamanan nasionalnya.
Dengan posisi kekuasaan yang timpang, diplomasi sering kali berjalan di tempat—sementara korban terus berjatuhan.

Suara dari Kampus dan Jalanan

Ketika diplomasi negara tersendat, gerakan masyarakat sipil mengambil peran. Dari New York hingga Jakarta, mahasiswa dan aktivis mengibarkan bendera Palestina sebagai bentuk solidaritas.
Gerakan Sumud Flotilla—kapal kemanusiaan yang mencoba menembus blokade Gaza—menjadi simbol keteguhan moral melawan ketidakadilan global.

Kampus-kampus dunia pun bergolak. Di berbagai universitas di Amerika Serikat, mahasiswa mendirikan tenda protes dan menuntut kampus mereka memutus kerja sama akademik dengan lembaga-lembaga yang terafiliasi dengan Israel. Di Indonesia, solidaritas itu diwujudkan lewat diskusi, penggalangan dana, hingga doa bersama lintas agama.

Namun perjuangan ini bukan tanpa risiko. Tekanan politik, disinformasi media, dan stigma terhadap gerakan pro-Palestina sering kali membuat suara solidaritas tersisih. Meski begitu, semangat perlawanan tetap tumbuh, menandakan bahwa isu Palestina kini bukan lagi milik satu bangsa, melainkan simbol perjuangan global untuk kemanusiaan.

Harapan yang Belum Tuntas

Pengakuan politik terhadap Palestina adalah awal yang penting, tapi belum cukup. Dunia perlu melangkah lebih jauh—mendesak penghentian blokade, mendukung proses keadilan internasional, dan menegakkan hukum bagi setiap pelanggaran hak asasi manusia.

Indonesia termasuk negara yang sejak lama konsisten membela Palestina. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan, “Palestina akan selalu kita bela,” dalam forum-forum internasional. Dukungan ini bukan sekadar politik luar negeri, melainkan amanat konstitusi dan nurani kemanusiaan.

Pada akhirnya, perjuangan rakyat Palestina adalah cermin bagi dunia: seberapa jauh umat manusia berani menegakkan keadilan, bahkan ketika kebenaran tampak tidak menguntungkan secara politik.
Karena pengakuan sejati bukan hanya pada status negara, tapi pada hak setiap manusia untuk hidup bebas, bermartabat, dan damai di tanahnya sendiri.

Tentang Penulis

Sultan Akmal Yusuf adalah mahasiswa Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial di UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Ia menulis tentang isu kemanusiaan, politik global, dan keadilan sosial dari perspektif generasi muda.