MEMBANGUN LITERASI DIGITAL

Opini624 views

KUNINGAN ONLINE – Pesatnya perkembangan teknologi sekarang ini memberikan pengaruh terhadap pembelajaran literasi secara digital. Keterikatan manusia dengan internet terutama melalui Telepon Pintar (Smart Phone) semakin tinggi. Peringkat Indonesia dalam penggunaan media sosial terbesar yang termasuk ke dalam lima besar dunia. Namun dalam kenyataannya penguasaan etika berinteraksi dan penyaringan dan pengolahan informasi di dunia maya masih minim.

Di sisi lain, perkembangan teknologi juga mempunyai kesempatan bersosialisasi, komunikasi, dan pertemanan dapat terjadi lintas provinsi sampai lintas Negara. Hal itu juga, bahkan dapat membuka kesempatan untuk proses belajar, akses berita, informasi kesehatan, dan lainnya.

Iklan

Penggunaan internet berubah sejak harga telepon pintar dan gadget elektronik komunikasi lain kian terjangkau. Internet tidak lagi menjadi sesuatu yang mewah dan penggunaannya tidak lagi terbatas kepada komputer yang di ruang keluarga.

Menurut data, persentase pengguna internet berusai 16 hingga 64 tahun memiliki masing-masing jenis perangkat. Diantaranya Mobile Phone (96%), Smartphone (94%) non-Smartphone Mobile Phone (21%), laptop atau Computer Desktop (66%), Tablet (23%). (www.m.detiknet.com)

Iklan

Begitu juga, data pengguna media sosial (medsos) yang paling banyak digunakan oleh pengguna internet Indonesia dari paling teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, Linkedln, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumbir, Reddit dan Sina Weibo. (www.m.detiknet.com)

Sekian banyak pengguna internet lewat gadget dan medsos yang digunakan, pada kenyataannya mempunyai masalah yaitu masyarakat Indonesia belum memiliki kecerdasan berinternet. Masyarakat Indonesia masih gampang menggunggah data pribadi ke Medsos. Dimana, data itu sangat mungkin dimanfaatkan oleh pihak lain untuk tujuan jahat.

Selain itu, dalam dunia pendidikan, di satu sisi, siswa diminta mencari informasi di internet. Namun, guru dan orang tua tidak memberikan pembekalan memadai tentang penggunaan internet secara bijak. Kalaupun ada pelatihan literasi digital, hal tersebut hanya dilakukan sekali atau dua kali, belum menjadi kegiatan rutin. Akibatnya, siswa rentan terjebak dalam eksploitasi seksual, seperti pedofilia dalam jaringan dan perundangan siber, serta masuk organisasi berideologi ekstrem.

Dalam situasi tersebut bisa terjadi karena internet baru dilihat dari sisi teknis. Padahal, pengaruhnya sudah mengubah dinamika masyarakat, mulai dari tingkat keluarga hingga Negara. Internet mengubah pola membuat pengumpulan informasi mudah dilakukan karena bertebaran di mana-mana. Dan pengguan belum bisa memilih antara informasi yang memiliki rujukan berbasis bukti.

Istilah literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw, 2011) Literasi digital bermakna kemampuan untul berhubungan dengan informasi hipertekstual dalam arti bacaan  takberurut berbantuan komputer. Gilster (2007) kemudian memperluas konsep literasi digital sebagai kemampuan  memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Dengan kata lain kemampuan untuk membaca, menulis dan berhubungan dengan informasi dengan menggunakan teknologi dan format yang ada pada masanya.

Perkembangan sekarang ini yaitu era yang serba digital, visual, dan serba praktis era elektronik, kalau diantisipasi bisa menurunkan tingkat literasi (kemampuan baca). Sebagai solusi yang dapat diberikan, yaitu dengan salah satunya meningkatkan budaya baca, anak muda akan menjadi kritis dan tidak mudah termakan isu-isu yang dikembangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan mereka.

Di Negara lain, banyak negara yang memiliki budaya baca yang tinggi dan mempunyai antisipasi yang lebih cepat dalam menangani masalah rendahnya minat baca baik buku maupun digital. Menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa negara-negara dengan penduduk haus baca buku (cetak) tidak mengalami penurunan dalam tingkat literasi? Sebab, sudah menjadi suatu budaya yang menyatu sebagai kebiasaan (habits). Sebagai contoh, Negara Jepang, dimana industri buku cetak di sana tidak mengalami penurunan berarti. Orang tetap asik membaca lewat bacaan cetak ataupun elektronik.

Namun sebaliknya di negara kita, budaya baca tidak secara maksimal dihidupkan, mayarakat yang lebih terbiasa dengan budaya nonton dan budaya omong (bicara). Kebiasaan (habits) yang baik yaitu membaca, perlu dipaksakan agar diterima, menyatu sebagai kultur. Kebiasaan membaca perlu ditambahkan, kalau perlu dipaksakan, di antaranya lewat pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya.

Oleh karena itu, upaya membangun literasi digital memerlukan kesadaran dan partisipasi pemangku kepentingan, termasuk keluarga dan sekolah. Menanamkan kesadaran pentingnya membaca berarti membiarkan diri ditarik keluar dari penjara perhatian berlebihan pada diri sendiri, melihat dunia, manusia mengalami tantangan, terangsang dalam fantasi, bersemangat untuk melakukan sesuatu. Semua pihak baik generasi muda, Pemerintah, Dunia Usaha, Lembaga Pendidikan dan Masyarakat harus terbiasa dengan membaca berbagai informasi dan mengakses informasi dari media digital (elektronik) maupun media tulis (buku, dll). Selain itu, mereka perlu mengikuti perkembangan peradaban yang sedang terjadi secara faktual.

Jaenal Gopur (Dekan Fakultas Teknik UNISA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *