KUNINGAN ONLINE – Islam memiliki dua sumber hukum yang kebenarannya absolut yaitu Al-quran dan hadis yang dipercaya mampu menjawab semua problematika zaman yang selalu berkembang. Semua hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia telah diatur di dalamnya, yang secara garis besar terbagi menjadi tiga yaitu akidah, ibadah dan muamalah. Semua aturan yang tertuang dalam Al-quran dan hadist tersebut diyakini mengandung maslahat bagi manusia. Tidaklah Allah SWT membuat aturan kecuali untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Allah SWT. sebagai sang pencipta tentunya lebih mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya, sehingga harus yakin bahwa aturan Allah SWT.
Namun manusia di dalam kehidupannya sering melakukan jual beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi tidak menjalankan sesuai syariat islam serta tidak memiliki kaidah dan etika moralitas dalam Islam. Allah SWT telah menurunkan rezeki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan dan bersih dalam segala perbuatan yang mengandung riba. Terdapat banyak ayat Al-quran dan hadis Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja, kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya dan mencela orang menjadi pemalas tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al-quran. Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang. Seperti monopoli, percaloan, perjudian, dan riba, pasti akan ditolak.
Riba merupakan penyakit ekonomi masyarakat yang telah dikenal lama dalam peradaban manusia. Beberapa pakar ekonomi menjelaskan bahwa riba telah ada sejak manusia mengenal uang (emas dan perak). Riba dikenal pada masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Babilonia dan Asyuriya di Irak, dan peradaban Ibrani Yahudi. Termaktub dalam kitab perjanjian lama bahwa diharamkan orang Yahudi mengambil riba dari orang Yahudi, namun dibolehkan orang Yahudi mengambil riba dari orang di luar Yahudi
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-‘uluw) dan meningkat (alirtifa’). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut ; arba fulan ‘ala fulan idza azada ‘alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a’thaythum min syai’in lita’khuzu aktsara minhu (mengambil) dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu ‘iwadh (imbalan) adalaha riba. Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang ribafadhal: emas, perak, gandum. Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa yang dimaksud riba ialah penambahan-penambahan yang di isyaratkan oleh orang yang memiiki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan. Al-qur’an dan Hadist menggunakan istilah ‘riba’ yang oleh para ahli diterjemahkan sebagai ‘bunga’
Dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah (2:276) memerintah kita untuk menghentikan riba sedangkan ayat 279 membolehkan pemberi utang mengambil kembali sejumlah pokok utang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Itu berarti bahwa riba adalah jumlah (uang) yang dipungut oleh pemberi utang dari debitur di atas modal yang dia pinjamkan. Jumlah yang ditambahkan itulah yang dinyatakan haram oleh Al-qur’an. Jadi, menurut Al-qur’an, setiap tambahan yang diperoleh di atas pokok utang adalah ‘riba’ berapa pun tinggi atau rendahnya suku bunga yang dikenakan itu dan untuk apa utang itu diberikan
Al-quran menjelaskan bahwa Bani Israel (umat Nabi Musa ‘alaihis salam) melakukan riba dan Allah-pun telah melarang mereka memakan riba. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An Nisa: 160-161 sebagai berikut : “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah (QS. 4:160) dan “ Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih (QS. 4:161)
Penulis :
Ilham Akbar adalah Mahasiswa Program Doktor (S3) Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Kuningan (Uniku).