KUNINGAN ONLINE – Pasca penetapan kesimpulan pada Rapat Kerja Badan Legislatif DPR RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Panitia Perancang UUD DPR RI dalam rangka penyempurnaan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2021 dan perubahan Program Legislasi Nasional RUU Tahun 2020-2024 tanggal 9 Maret 2021 terdapat 4 kesepakatan.
Kesepakatan tersebut, diantaranya menarik RUU tentang Pemilu dari Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021; kemudian RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol yang semua diusulkan oleh Anggota DPR menjadi usulan Badan Legislasi; lalu jumlah Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 sebanyak 32 RUU; dan Program Legislasi Nasional RUU Tahun 2020-2024 berjumlah 246 RUU.
“Jika DPR memastikan bahwa pembahasan revisi UU Pemilu dihentikan dan dihapus dari Program Legislasi Nasional tahun 2021. Artinya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan, tidak akan mengalami perubahan, setidaknya sampai dengan tahun 2024. Maka Pemilu DPR, DPD, DPRD, dan Pilpres serta Pilkada mengacu pada UU tersebut sebagai legitimasinya,” terang Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kabupaten Kuningan Zaka Vikryan, Rabu (10/3).
Menurut Zaka, dengan demikian maka pelbagai persoalan yang seharusnya dibahas dan dicari solusinya melalui revisi UU Pemilu dan UU Pemilihan tidak akan dibahas di DPR.
Berbagai persoalan tadi sudah banyak dibahas, bahkan oleh Komisi II DPR sendiri telah dilakukan pembahasan awal, karena saat itu memang menjadi prioritas dalam Prolegnas yang dihapus secara resmi sejak masa sidang kemarin. Penghapusan tersebut tentu tidak menghilangkan berbagai persoalan pelik untuk pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan serentak nasional yang sudah juga disampaikan pelbagai pihak.
“Tentu saja cukup riskan, mengingat banyaknya permasalahan yang akan timbul dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 nanti, yang seyogyanya diantisipasi dengan lebih cermat dan hati-hati sebelum DPR memutuskan untuk menghapusnya dari Prolegnas. Jika tidak terjadi revisi UU tersebut, maka akan muncul beberapa Persoalan, yang intinya berasal dari ketidak-sinkronkan antara UU pemilu dan UU Pilkada serta perkembangan politik dan teknologi yang berubah cepat saat ini, apalagi pada tahun 2024, ketika pelaksanaan Pemilu dan pemilihan dilaksanakan,” jelasnya.
Pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada tahun 2024 (UU 10/2016), demikian lanjut Zaka, beririsan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2024 (UU 7/2017), sebuah permasalahan penyelenggaraan yang memerlukan persiapan dan potensi permasalahan yang cukup pelik, serta potensi residu politik pemilu yang bisa berakibat pada pemilihan 2024 (Pasal 301 UU 10/2016).
Ihwal penunjukan Plt. Kepala Daerah pada lebih dari 270 daerah dengan 25 daerah adalah wilayah Provinsi seluruh pulau Jawa, dengan jumlah pemilih sekitar 150 juta, merupakan isu politik dan beban untuk pemerintah sendiri.
Beberapa ketentuan dalam UU Pilkada yang memerlukan penyesuaian dengan UU Pemilu mulai dari soal daerah pemilihan, lembaga penyelenggara, administrasi pemilihan, sistem penyelesaian sengketa proses dan sengketa hasil pilkada yang memerlukan perangkat pendukung tersendiri.
“Pelaksanaan yang diatur untuk memberikan hasil maksimal dalam pelaksanaannya baik dari sisi reformasi politik maupun dari sisi rekayasa sosial melalui pemilu dan pilkada. Pelaksanaan pemilihan serentak nasional (Pasal 156 UU 10/2016) mengamanatkan Peradilan Khsusus Perselisihan hasil pemilihan (ayat 2 pasal 158 UU 10/2016) yang disebut majelis khusus (PHPemilihan), dan tidak terakomodir dalam lembaga-lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam UU. 7 tahun 2017),” lanjutnya.
Oleh karena itu, Zaka menjelaskan, banyaknya persoalan tersebut akan sangat riskan jika DPR menganggapnya tidak penting dan terkesan menyerahkan perubahannya pada Perpu dari pemerintah. Bersama dengan soal penunjukan Plt. Kepala Daerah yang sangat banyak, serta potensi kepentingan politik pemerintah dan koalisinya, Perpu menjadi tidak mudah untuk membangun kepercayaan publik pada proses dan hasil Pemilu dan bisa menimbulkan kerawanan politik.
“Untuk itu, sesuai dengan sikap KIPP Indonesia menyikapi persoalan tersebut, maka perlu kiranya untuk DPR perlu menimbang kembali kelanjutan pembahasan revisi UU Pemilu dan Pemilihan tersebut,” pungkasnya. (OM/rilis)