KUNINGAN ONLINE – Empat dari delapan pendaki dari sebuah rombongan melihat tugu yang sebelumnya tidak pernah ada ketika turun dari Gunung Ciremai (14/10/2020). Tugu tersebut diapit oleh dua pohon besar yang terdapat tulisan samar-samar diatapnya, cahaya di lorong tugu terlihat lebih pekat, berbeda dengan cahaya di luar tugu.
“Mungkin kalau kalian masuk ke tugu tersebut, kalian bisa hilang dan tidak pernah ditemukan kembali.” kata senior mereka ketika berbincang setelah pendakian.
Untungnya Pahrul salah satu pendaki, memerintahkan mereka untuk tidak masuk ke tugu tersebut sehingga sekarang mereka masih selamat.

Cerita ini berawal dari sekelompok pendaki asal Kuningan, Jawa Barat akan mendaki ke Gunung Ciremai. Mereka terdiri dari delapan orang, yaitu Romi, Fajar, Pahrul, Rizaf, Kinanti, Dini, Angga dan Aji. Berangkat pada Jumat (13/10/2020) tepat pukul 08.00 wib mereka registrasi di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).
Diawal perjalanan, tidak terjadi apa apa semuanya enjoy menikmati perjalanan sambil melihat pemandangan. Namun, selama perjalanan, Kinanti menunjukan gelagat yang membingungkan, karena terus menanyakan, siapa pembuat jalur di Gunung Ciremai tersebut.
Tak sampai di situ, Kinanti keceplosan menanyakan, “Eh emang di sini ada?” Kinanti langsung menghentikan ucapannya, tapi teman-temannya tahu betul apa yang dimaksud Kinanti, akhirnya mereka tidak menghiraukannya.
Tepat di tanjakan asoy, tanjakan yang sudah terkenal di kalangan pendaki Gunung Ciremai itu medannya sangat terjal, meskipun panjangnya hanya sekitar 20 m, tapi kemiringinnya hampir 80%, bentuknya seperti tangga yang melingkar. Sebelumnya Kinanti sangat bersemangat menuju jembatan tersebut, tapi setelah melihatnya dia terbengong lumayan lama.
Langit sudah memberikan tanda hampir magrib. Setelah berhasil melalui tanjakan asoy, Kinanti meminta ke depan karena takut ada monyet. Setelah melewati tikungan, Kinanti balik lagi sambil berlari dan mukanya sangat panik.
“Lihat apa? Hewan atau bukan?” tanya Rizaf. “Bukan” jawab Kinanti. Fazar, Riza, Pahrul langsung terdiam, pikiran mereka kemana-mana, jika bukan hewan bisa jadi yang dilihat Kinanti adalah makhluk halus, tapi Kinanti tidak memberitahu apa-apa.
Mereka mendirikan tenda untuk istirahat di pos 6. Pukul 03.00 wib mereka melanjutkan samit atau perjalanan ke puncak untuk mengejar matahari terbit (sunrise). Karena adanya badai mereka baru sampai di puncak pukul 07.30 wib.
Setelah sejenak melepas penat dengan melihat pemandangan dari puncak Gunung Ciremai, tak lupa juga mengambi foto, rombongan pun turun. Pahrul dan Rizaf turun terlebih dahulu sejak pukul 08.00 wib, yang lainnya menyusul turun pukul 09.00 wib. Fajar, Romi, Angga, Aji, Dini, dan Kinanti menjadi yang paling terakhir turun.
Ketika sampai di Gua Walet, Kinanti melakukan hal yang membuat yang lainnya bingung lagi, Kinanti bengong menatap Gua Walet, terlihat seperti menikamati, melihat hal itu, Romi langsung menyadarkan Kinanti dan mengajaknya segera turun. Fajar memutuskan untuk turun terlebih dahulu, lalu disusul Dini, tak lama Angga menyusul untuk menemani Dini.
Di atas hanya tersisa Kinanti dan Romi. mereka melanjutkan sampai Pos Simpang Apuy, Kinanti mulai lelah dan meminta istirahat. Kinanti melamun lagi, Romi memberikan minum untuk menyadarkan Kinanti dari lamunannya.
Kinanti menangis merasakan sakit di perut bagian bawahnya. Tiba-tiba Kinanti melantur, “Eh Rom, Kok aku mau ketawa.” Kata Kinanti kesakitan dan langsung tertawa yang terdengar aneh. Menurut Romi, Kinanti tidak kesurupan pada waktu itu, dia seperti menahan energi yang masuk ke dalam tubuhnya.
Ketika tertawa, Romi menuntun Kinanti untuk mengucapkan Istigfar agar senantiasa ingat terus kepada Tuhan, Kinanti menangis kembali, lalu bangun menarik tangan Romi, “Aku gak mau di sini.” Ucap Kinanti.
Suasana pada saat itu sangat mencekam meskipun masih jam 11.00 langit terlihat mendung, burung bekicau sahut-sahutan sehingga bisa membuat yang mendengarnya merasa merinding.
Setelah perjuangan penuh Romi membawa Kinanti akhirnya mereka sampai di Pos 6, tempat tenda mereka berdiri. Kinanti bercerita, sebelumnya dia mempunyai feeling akan menyusahkan Romi dan hal tersebut terjadi.
Hal ini bisa jadi pelajaran, bagi siapapun yang ingin mendaki untuk menjaga tutur kata bahkan pikiran masing-masing agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jam 12 siang, mereka packing dan merapikan semuanya, lalu dilanjutkan turun kembali. Kinanti tak menunjukan gelagat aneh, selama perjalanan dia memimpin di depan rombongan. Sampai Pos Cigowong, Dini dan Kinanti meminta izin untuk ke toilet, yang lainnya menunggu di gazebo pos tersebut.
Dini terlebih dahulu selesai dari toilet dan bergabung di gazebo, Kinanti menyusul keluar dari toilet tapi dia duduk melamun sendirian di bangku tidak ikut bergabung. Lagi-lagi Romi mengingatkan agar Kinanti tidak menyendiri.
Suasana terasa mencekam, waktu sudah menunjukan hampir magrib, matahari sudah mengilang, suara burung sahut-sahutan terdengar menyeramkan, sedangkan rombongan masih ada di hutan.
Mereka melanjutkan perjalanan, namun setelah 20 meter berjalan tiba-tiba kaki Rizaf sakit, kedua kakinya lemas. Pahrul datang membantu dengan menggandeng Riza di sepanjang perjalanan, lalu meminta Romi untuk berjalan beriringan.
Fajar memilih untuk duluan, agar bisa mengambil motor, diperjalanan Fajar melihat bayangan hitam, karena takut, Fajar kembali dan meminta hp untuk memutar sholawatan.
Belum lama jalan, Kinanti merasa kakinya lemas, Romi membantu Kinanti dengan menekan kakinya, namun Kinanti malah ketawa sama seperti kejadian di atas tadi, lalu di doain oleh yang lain, Kinanti pun sadar dan mendingan sehingga bisa melanjutkan perjalanan kembali.
Jalan beberapa meter, Palu, Riza, Aji dan Dini melihat tugu. Seperti tugu kuno yang warnanya sudah kusam ,diapit oleh dua pohon besar ada tulisan di atapnya namun tidak terbaca meskipun Aji terus menyoritinya dengan senter.
Merasa ada yang tidak beres dengan tugu tersebut, Pahrul meminta Aji untuk melanjukan perjalannya dan menghiraukan tugu tersebut.
Namun, anehnya pendaki yang dibarisan belakang, yaitu Romi, Kinanti, Angga dan Fajar tidak melihat tugu tersebut, dan mereka juga menanyakan kepada senior-senior pendaki mereka tidak ada yang pernah melihat tugu yang disaksikan oleh Palu, Riza, Aji dan Dini pada waktu itu.
Selama perjalanan mereka merasa aneh, jarak yang seharusnya ditempuh selama 10 menit sampai, tapi ini sudah setengah jam tidak juga sampai, mereka merasa jalan itu lama sekali, serasa berputar putar di tempat yang sama, seperti ada yang menyesatkan.
Setelah terus berjalan, pada akhirnya, mereka sampai di pos pendaftaran dan lapor kepada pihak TNGC. Setelah itu, meraka pulang ke rumahnya masing-masing dengan selamat meskipun menyisakan trauma. (Ida/Mgg)